Mataram – Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia sebagai institusi yang diamanatkan oleh Undang-undang untuk melakukan pemberantasan korupsi dan penyelewengan keuangan publik mengadakan Training of Trainers (ToT) Dosen Pengampu Matakuliah Antikorupsi seri IV pada Perguruan Tinggi di LLDIKTI VIII, IX, XII, XIV, XV, dan XVI serta Kopertais Wilayah VIII dan XIV yang berlansung secara online menggunakan aplikasi konferensi video ZOOM pada Rabu-kamis, 18-19 Agustus 2021.
Acara yang dibuka oleh Staf Fungsional Direktorat Jejaring Pendidikan KPK Siti Patimah yang diikuti oleh dosen dari Perguruan Tinggi di lingkungan LLDIKTI VIII, IX, XII, XIV, XV, dan XVI serta Kopertais Wilayah VIII dan XIV.
Tujuan kegiatan Training Of Trainer (TOT) ialah bagaimana mengimplementasikan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi, Memberikan penguatan kapasitas bagi para dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi (PAK), Membentuk kemampuan calon Dosen Pendidikan Anti Korupsi (PAK) dalam mengimplementasikan PAK di perguruan tinggi.
Dengan adanya kegiatan Training Of Trainer (TOT) Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi adalah Dihasilkan model-model Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), baik untuk Pendidikan Antikorupsi sebagai mata kuliah mandiri ataupun sisipan, Dihasilkan dosen dan calon dosen pengampu mata kuliah PAK mendapatkan knowledge yang memadai sebagai bekal pengajaran PAK.
Pelatihan ToT bagi dosen sudah dilakukan oleh KPK hampir seluruh provinsi mulai dari pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua hingga Aceh. Bahkan ToT telah dilaksanakan sejak tahun 2017.
Dengan menghadirkan narasumber dari Universitas Andalas Padang Sumatera Barat Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M., Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Wanodyo Sulistyani, S.H.,M.H. LL.M., Dosen Mata Kuliah Antikorupsi Universitas Paramadina Retno Hendrawati, M.T., dan Pejabat Fungsional Direktur Gratifikasi KPK, Widyanto Eko Nugroho.
Dalam pemaparannya, Feri Amsari menjelaskan perbedaan antara Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian, Koko menjelaskan Undang-undang mengenai delik pidana korupsi. Berdasarkan Undang-undang No.31/1999 jo. UU No.20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, terdapat 7 kelompok pidana korupsi, yaitu kerugian negara, suap-menyuap, konflik kepentingan, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, dan gratifikasi. “Dari 7 kelompok pidana ini, kerugian negara, suap-menyuap, dan konflik kepentingan berkaitan dengan SNI ISO 37001:2016,” ujarnya.
Pada 7 kelompok pidana tersebut ada 3 hal yang hampir serupa, yaitu penyuapan, pemerasan, dan gratifikasi. “Dalam penyuapan, ada kegiatan transaksional antara penyuap dan pihak yang disuap,” jelas Koko. Adapun pemerasan, lanjutnya, pihak pemeras, dalam hal konteks ini yang dimaksud adalah pegawai negeri / penyelenggara negara, bersikap aktif kepada masyarakat. Sedangkan gratifikasi sebaliknya, pihak masyarakat / pengusahalah yang aktif kepada pegawai negeri penyelenggara Negara. “Salah satu perbedaan antara suap dengan gratifikasi, dalam suap sudah ada niat jahat bagi pelaku pada saat penerimaan, sedangkan dalam gratifikasi, niat jahat dianggap ada setelah adanya suatu ,” jelas Feri.
Dalam pasal 12B UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 ayat (1) diterangkan bahwa bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Untuk gratifikasi yang nilainya sepuluh juta rupiah atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukanlah suap (pembuktian terbalik) dilakukan oleh penerima gratifikasi. Namun, Feri melanjutkan, ketentuan tersebut tidak berlaku bila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, paling lambat tiga puluh hari kerja sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Feri Amsari juga menyampaikan, sesuai amanat UU No.30 Tahun 2002 pasal 6, salah satu tugas KPK adalah melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Adapun upaya-upaya pencegahan tersebut tercakup dalam beberapa langkah, yaitu melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara Negara; menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; serta melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pungkasnya.